Masih terngiang dalam telinga saya pesan dari almarhum ayah. Saat itu saya hendak mulai merantau ke kota besar untuk menuntut ilmu. Salah satu pesannya adalah, “Jangan suka kotbah ya.” Pesan ini beliau sampaikan sehubungan dengan senangnya saya ikut persekutuan, dan beliau tahu seperti apa saya. Julukan yang melekat bagi saya dari orang tua saat itu adalah ‘jarkoni’, sebuah akronim Jawa ‘iso ujar, ora iso nglakoni’, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai, ‘bisa berkata-kata, tidak bisa melaksanakan’. Semoga saat ini saya tidak seperti itu lagi.
Pesan lain yang beliau sampaikan kala itu adalah sebuah kalimat bijak dalam bahasa Jawa, ‘Suro diro jaya ningrat lebur dening pangastuti’. Beliau mengatakan bahwa itulah esensi kekristenan. Suro diro berarti kekuatan fisik, jaya ningrat artinya keunggulan secara social, lebur dening adalah hancur oleh, dan pangastuti bermakna kelemahlembutan atau yang lebih kompleks dan rohani bagi orang Kristen disebut kasih. Jadi secara lengkap kalimat tersebut berarti, ‘kekuatan fisik dan keunggulan sosial akan dapat ditaklukkan dengan kelemahlembutan kasih’. Rasanya memang seperti itu jugalah yang dipraktekkan dan diteladankan Yesus ketika kehadirannya sebagai manusia di bumi ini. Dengan kelemahlembutan dan kasih-Nya, Ia memutarbalikkan kesalehan semu yang dipraktekkan orang banyak. Dia menyediakan gaya hidup alternatif bagi mereka yang sungguh-sungguh mau berkenan kepada Allah
Kasih adalah sebuah ideologi klasik Kristen. Kata ini selalu didengungkan dari atas mimbar, bahkan ada gereja-gereja yang setiap hari minggu masih (dan penulis bersyukur untuk ini) mengumandangkan ‘hukum kasih’. Karena begitu seringnya kata ini terucap bahkan banyak orang sudah merasa biasa dan merasa mengerti makna kata itu, walaupun sering kali orang tidak dapat menjawab bila ditanya apa itu kasih. Kata ini akhirnya lebih sering menjadi slogan tanpa makna, dibandingkan semangat hidup Kristen. Dan hal ini juga yang membuat penulis terus menerus bergumul mengenai apa dan bagaimana penulis seharusnya hidup sebagai Kristen. Apa sesungguhnya esensi kekristenan?
Dalam pergumulan tersebut penulis terpaku dengan sebuah pertanyaan dan kenyataan. Dalam Alkitab jelas diberitakan bahwa Abraham adalah bapa orang percaya. Bangsa Israel mengakui bahwa Abraham adalah bapa mereka. Kita mengetahui bahwa agama yang dianut bangsa Israel adalah Yudaisme. Yudaisme, yang merupakan cikal bakal kekristenan ini, tumbuh dalam masa pembuangan sekitar abad 6 sM. Dengan demikian agama ini tumbuh beberapa abad setelah kematian Abraham. Dengan demikian tentunya agama Abraham bukanlah Yudaisme apalagi Kristen. Kalau demikian apa sebenarnya agama Abraham? Bila kita membaca dengan teliti Firman Tuhan, kita akan menemukan kenyataan bahwa tidak pernah disebutkan Abraham menganut agama tertentu. Yang kita ketahui bahwa Abraham menyembah dan tunduk kepada Tuhan, Allah yang memanggil dia. Dengan demikian maka kita dapat mengatakan Abraham, bapa orang percaya, tidak beragama!
Jika Abraham yang tidak beragama namun dapat dikatakan sebagai orang beriman, bahkan didaulat bukan hanya oleh manusia tetapi juga oleh Allah sebagai bapa orang beriman. Lalu apa itu iman? Apakah hubungan iman dan agama? Apakah iman harus selalu dinilai dari agama dan religiusitas keagamaan seseorang? Dalam pergumulan yang demikianlah tulisan ini berakar dan berarah. Dengan memperhatikan hidup dan perjalanan hidup Abraham, penulis hendak mengajak para pembaca untuk melayari kerohanian hidup yang hakiki.
Ups.. ini hanyalah pendahuluan dari buku yang sedang saya tuliskan..
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.