Wednesday, March 24, 2010

Terlalu Gembira untuk Merenung

Setelah saya melihat-lihat file-file lama, saya menemukan tulisan ini, tulisan asli dari yang diterbitkan oleh Perkantas Jawa Barat, dan yang mungkin sudah di copy oleh pihak lain. Memang perayaan Natal masih lama, dan tulisan ini hanya pengingat agar kita tidak terjebak pada rutinitas.


Terlalu Gembira untuk Merenung

Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu. Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka. Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.
Lukas 2:17-19

Natal adalah kesempatan untuk pesta, itulah yang sekarang terjadi. Rasanya Natal jadi kurang greget bila tidak ada gemerlap lampu dan hiasan ‘khas’ natal, berlimpahnya makanan dan indahnya pakaian. Natal adalah kesempatan menumpahkan seluruh kemampuan entertainment yang dimiliki oleh seluruh orang Kristen, yang dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya. Jadilah sebuah ibadah dan perayaan Natal yang sangat meriah, sangat panjang, sangat banyak atraksi dan yang pasti sangat melelahkan. Natal sepertinya menjadi satu-satunya puncak kegiatan Kristen.

Apakah salah? Tidak ada yang salah, dan memang kita tidak sedang berbicara salah atau benar.

Saya belum menikah apalagi memiliki anak, jadi saya belum tahu dengan tepat mengenai sukacita menantikan dan melihat kelahiran seorang anak. Namun berdasarkan sharing beberapa rekan yang telah dianugerahi anak, saya yakin ketika Tuhan Yesus lahir, Maria, ibu-Nya, yang mengandung selama lebih dari 9 bulan itu pasti berbahagia. Yusuf yang mendampingi Maria pun pasti juga berbahagia. Dan jelas bahwa Sorga bersukacita, itu ditunjukkan dengan “sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah.” (2:13)

Para gembala yang termasuk masyarakat kelas bawah dalam tatanan masyarakat Yahudi tentu bergembira ketika dijumpai oleh malaikat yang mengabarkan kelahiran Kristus sebagai Juru Selamat bagi diri mereka. Bagaimana mereka tidak bergembira diberi seorang pembebas? Mustahil! Gembira adalah ekspresi yang wajar ketika menerima sebuah hadiah yang besar. Karenanya mereka bersegera, cepat-cepat berangkat ke kota Daud, menjumpai Maria dan Yusuf, serta Sang Bayi. Ketika mereka masuk kota, mereka akan mengetok rumah demi rumah dan bertanya, “Dimanakah ada bayi yang baru lahir dan dibaringkan di palungan?” Dan ini tentu akan membuat orang tertarik dan ikut serta dengan para gembala yang mencari untuk menemukan bayi Yesus itu. Rombongan yang menjenguk ini menjadi bukan hanya para gembala, tetapi ada juga beberapa penduduk kota.

Nampak jelas bahwa para gembala yang mendapat kabar sukacita dengan sangat bangga, dan tentu setelah menemukan bayi Yesus dengan segera menjelaskan apa yang dikatakan Malaikat kepada mereka. Saya membayangkan beberapa orang saling menimpali berbicara dengan bersemangat mengenai peristiwa yang sangat menakjubkan, yaitu berita mengenai kehadiran Sang Bayi yang disampaikan kepada mereka oleh malaikat ketika mereka sedang menjaga kawanan ternak. 

Di sisi lain saya melihat ekspresi orang-orang yang bersama-sama para gembala mencari dan menemukan bayi Yesus. Firman Tuhan mengatakan, “Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka.” (2:18) Ekspresi orang-orang yang bersama para gembala adalah HERAN. Penginjil Lukas tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang mereka perbuat, hanya HERAN.

Coba kita sedikit lanjutkan ekspresi dari para gembala. Setelah mereka menjumpai bayi Yesus dan bercerita mengenai apa yang mereka alami, maka mereka kembali kepada aktifitas mereka dengan sukacita, memuji dan memuliakan Allah. Mengapa? Dijelaskan oleh Penginjil Lukas, “karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.” (2:20) Setelah itu tokoh-tokoh ini menghilang dan tidak tercatat lagi dalam kisah sukacita menurut Penginjil Lukas. Gambaran mengenai ekspresi kegembiraan para gembala hanyalah satu sisi dari gambaran sukacita Natal. Yang bagaimana? Yang dapat didengar dan dilihat. Kegembiraan yang dialami oleh para gembala adalah kegembiraan yang bisa dirasakan oleh indera mereka.

Apakah sukacita Natal hanya berhenti pada peristiwa Natal itu sendiri, tanpa kelanjutan?

Coba sekarang kita perhatikan ekspresi dari Maria. Seperti telah saya sampaikan di atas, saya yakin Maria bersukacita. Dengan segala berita yang telah ia terima mulai dari awal ia akan mengandung langsung dari Gabriel (1:36-38), kemudian peristiwa bersama Elisabet, sepupunya (1:39-45), dan kemudian peristiwa ini, dengan para gembala (2:8-20). Ia yang adalah ibu dari bayi Yesus, yang kemudian masih mempunyai tugas untuk mengasuh dan mendidik-Nya, menampakkan ekspresi sukacita yang berbeda, “Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” (2:19) 

Dalam kesederhanaan (atau malah kemiskinan?) melahirkan bayi, yang karena tidak ada tempat bagi mereka, maka sang bayi di baringkan di palungan pun jadi. Dikunjungi oleh orang-orang dari kalangan bawah, yang bercerita dengan semangat peristiwa yang mereka alami. Dan Maria hanya menyimpan semua itu dalam hatinya dan kemudian merenungkannya. Mengapa dia tidak protes kepada Tuhan, “Kalau memang bayi yang saya kandung adalah Juru Selamat, mengapa tidak ditempat yang lebih layak?” Tetapi tidak! Maria hanya menyimpan dalam hati dan merenungkannya. 

Mendapat anugerah yang besar, posisi yang luar biasa, menjadi ibu Sang Juru Selamat, tetapi tetap membisu dan menggumulkannya segala perkara itu sendiri, dalam hati. Ia tidak nampak sangat bergembira walaupun ia pasti bersukacita. Tidak dengan mudah bercerita tentang anugerah yang diembankan kepadanya oleh Tuhan, tetapi tetap menjalaninya dan merenungkan dalam ketekunan. Maria memperlihatkan kerendahan hati dari seorang hamba yang sederhana.

Apa saja yang mungkin direnungkannya? Apa yang mungkin dipikirkan dan digumulkan seorang ibu? Mencoba merangkai potongan-potongan perjalanan hidupnya, mencoba memahami makna yang harus ditangkapnya dan menjalani tanggung jawab yang harus diembannya.

Saat ini, ketika kita memperingati ‘hari kelahiran’-Nya, akankah kita hanya heran, atau hanya akan berusaha menikmati kemegahan yang bisa kita kecap dengan indera kita dalam ragam kesemarakannya dan dapat menikmati momen kelahiran itu untuk memuji dan memuliakan Tuhan? Ataukah kita akan juga mencoba menyimpan segala anugerah-Nya dalam hati dan terus menerus merenungkannya sepanjang perjalanan hidup, sambil mencoba merangkai segala peristiwa yang telah kita alami bersama Dia dengan maksud memahami makna hidup yang Ia anugerahkan dan mencoba memahami tanggung jawab yang diembankan-Nya pada kita? 


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.